Pandangan Orang Jepang dan Kepercayaan Mereka


Agama Budha yang masuk dan menyebar ke Jepang
melalui Cina dan Korea, diterima oleh orang Jepang
berdasarkan cara berpikir seperti di atas. Hal ini
merupakan salah satu aspek yang menimbulkan adanya
perbedaan di antara agama Budha Jepang dengan agama
Budha di India dan  juga di Cina. Konsep  satori bagi
agama Budha India, misalnya, diartikan sebagai
pencerahan  terakhir yang eksistensinya di dunia ini
melampaui dunia gejala. Sedangkan di Jepang, hongaku
atau  satori (pencerahan) tersebut, justru ditarik atau
diturunkan ke dalam dunia fenomena itu sendiri
(Nakamura, 1991:15). 


Dengan demikian, salah satu ciri dalam cara berpikir
orang Jepang menampakkan  tidak adanya sesuatu yang
disembunyikan dari manusia. Dunia fenomena bagi
orang Jepang, adalah mutlak dunia apa adanya,
sehingga segala apa yang ada di dunia nyata, seperti:
pohon, rumput, sungai, gunung, bunga, dan lain-lainnya
dipandang sebagai perwujudan dari  Bussho (sifat
Budha).

Itulah sebabnya orang Jepang  sangat mencintai alam
dalam banyak hal, dan juga merindukannya.. Mereka,
antara lain melukiskan pohon, rumput, burung, bunga,
dan sebagainya pada corak pakaian yang mereka
kenakan. Begitu pula dalam hal menu dan cita rasa
masakan. Mereka sangat menghargai masakan tersebut
sebagaimana bentuk alaminya, sehingga bentuk, warna,
dan rasa masakan dipertahankan sealami mungkin. 
Dalam hal rumah atau tempat tinggal pun demikian.
Mereka menghias  tokonoma (tempat untuk meletakkan
hiasan di bagian ruang tamu pada rumah ala Jepang)
dengan bonsai, yaitu pohon yang dikerdilkan dalam pot
yang mencerminkan  keserasian di antara langit, bumi,
dan manusia. Hiasan pada  tokonoma  tersebut  sering
pula berupa  ikebana, yaitu hasil seni merangkai bunga
ala Jepang yang juga mencerminkan keserasian di
antara langit, bumi, dan manusia. Selain itu, orang
Jepang juga sering melukis  fusuma, yaitu pintu sorong
atau dinding kertas rumah mereka dengan lukisan
burung, bunga, atau lukisan lingkungan alam yang
sederhana apa adanya. Hal yang sama juga terjadi dalam
seni sastra. Sepertinya sangat sulit untuk memilah
antologi puisi Jepang yang luput dari ungkapan
sentuhan alam. Karya-karya sastra orang Jepang sangat
pekat menunjukkan kecintaan mereka terhadap alam.

Lingkungan alam Jepang yang berada dalam cakupan
wilayah angin musim, membuat negeri Matahari Terbit
itu memiliki iklim sedang dengan pemandangannya
yang indah. Kondisi iklim semacam ini,  kiranya dapat
dijadikan sebagai salah satu penyebab yang amat
potensial dalam melahirkan cara berpikir orang Jepang
yang bersifat naturalistis; yaitu cara berpikir  yang
memandang bahwa “yang mutlak” adalah sama dengan
“dunia gejala,”  atau “dunia fenomena” adalah
merupakan sesuatu “yang mutlak.” Kecuali itu,
lingkungan angin musim yang bersifat sedang,
menjadikan rerumputan maupun pepohonan tumbuh
rimbun dan rindang. Kondisi semacam ini relatif tidak
menimbulkan tekanan bagi manusia, bahkan sebaliknya
kondisi iklim  yang sedang dengan perubahan suhu
udara yang tidak ekstrem lebih mendorong timbulnya
suasana keakraban ketimbang tekanan. Singkat kata, di
tengah lingkungan alam yang dianggap bersahabat
tersebut, alam relatif tidak menjadi musuh bagi manusia MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO. 3, DESEMBER 2004: 120-125


122
Jepang, tetapi malah sebaliknya menyatu dalam
kehidupan mereka.

Paham Keduniawian (Genseshugi)

Agama-agama di dunia pada umumnya, cenderung
memandang bahwa dunia fana ini sebagai lingkungan
yang kotor dan penuh dosa. Sedangkan dunia kemudian
atau dunia setelah kematian, adalah dunia yang suci.
Dunia tanpa penderitaan, dunia tanpa kekhawatiran, dan
merupakan lingkungan ideal yang dapat dilewati dengan
tenang dan tenteram. Akan tetapi, dalam pandangan
agama Shinto kuno Jepang tidaklah demikian halnya,
karena dalam agama  tersebut yang diakui hanyalah
nilai di dunia fana ini (Nakamura, 1991:37). Singkatnya,
agama Shinto kuno tidak memandang adanya dunia
kemudian atau dunia setelah kematian.

Ketika agama Budha masuk ke Jepang dan dalam tempo
tidak terlalu lama telah menyebar luas ke dalam sendi-
sendi kehidupan orang Jepang, ternyata dalam proses
penyerapan ajaran Budha tersebut  orang Jepang relatif
tidak mengubah paham keduniawian mereka. Bahkan
sebaliknya, mereka menuntun dan mengakulturasikan
agama Budha ke dalam paham keduniawian yang
mereka anut tersebut (Nakamura, 1991:39).

Dengan kata lain, orang Jepang tampaknya kurang
begitu peduli terhadap  sisi ideal  dunia menurut agama
Budha India dan Cina, bahkan  sebaliknya mereka
memanfaatkan pandangan keduniawianya dalam proses
penyerapan ajaran Budha tersebut. Pandangan tentang
“hidup” dan “mati” dalam ajaran Budha India,
misalnya, adalah memandang  bahwa setiap manusia
dengan kekuatan  karmanya  masing-masing akan
berputar dalam lingkaran  samsara rokudo (inkarnasi
enam jalan/tingkatan), meliputi: (1)   jigoku-kai atau
dunia neraka; (2)  gaki-kai atau dunia setan; (3)
chikusho-kai atau dunia binatang; (4)  ashura-kai atau
dunia dewa galak yang suka perang; (5) ningen-kai atau
dunia manusia; dan (6) tenjoo-kai atau dunia peri (alam
kayangan).

Dalam pandangan orang Jepang, mereka dapat saja 
melewati lingkaran  samsara  (reinkarnasi) dari dunia
neraka sampai ke dunia peri (kayangan) dengan mudah,
yaitu cukup dengan hanya menyatakan niat atau
menyebut nama Budha; maka siapa pun orangnya akan
terselamatkan dan akan dapat terlahir kembali di dunia
manusia  (Nakamura, 1991:41-45). 

Berkaitan dengan pemikiran di atas, Shinran Shonin
(1173-1262), seorang pemuka salah satu sekte Budha
Jepang  Jodoshinshu, memberikan fatwa yang berbunyi:
“zenninnna o mote ojo o togu, iwan  ya akunin o ya”
(Kasahara, 1985:136), yang secara harafiah berarti:
“orang baik dapat terselamatkan, apalagi orang jahat.” 
Fatwa Shinran ini mempertegas bahwa orang jahat yang
menyadari dengan sejujurnya akan kejahatannya,  akan
lebih sukuwareta  (terselamatkan) ketimbang orang baik 
yang lebih mengiakan atau menyetujui basa-basi pujian
sebagai orang baik bagi dirinya dari orang lain. Dengan
kata lain, seseorang dapat dikategorikan sebagai “orang
jahat” dan “orang baik” berdasarkan orientasi kesadaran
dirinya sendiri. Oleh karena itu, menurut Shinran,
“orang baik” (zennin) adalah orang yang dengan
sepenuh hati menyadari bahwa dirinya adalah “orang
yang jahat” (orang yang tidak baik), karena ia tidak bisa
sepenuhnya melepaskan diri dari nafsu keduniawian
namun selalu berusaha untuk mendapat keselamatan
dari Budha. Sedangkan “orang jahat” (akunin), adalah
orang yang sangat merasa yakin bahwa dirinya adalah
orang yang baik, dan oleh karenanya ia merasa sudah
pasti terselamatkan oleh Budha.

Agama Budha yang mengalami akulturasi dengan cara
berpikir orang Jepang seperti di atas, juga banyak
tercermin dalam antologi puisi Jepang mulai sekitar
abad ke-7. Misalnya dalam sebuah gubahan Otomo
Tabito (665 – 751),  seorang penyair Jepang pada zaman
Nara (abad ke7–8 M), yang sebagai- mana dikutip dari
Nakamura (1991:38-39) berbunyi:

   Kono yo ni shi    
  tanoshiku araba   
  komu yo ni wa   
  mushi ni tori nimo 
 
  ware wa nari namu

  Ikeru mono tsuhi ni mo
  shinuru mono ni araba
  ima aru hodo wa
  tanoshiku arana

Terjemahannya, lebih kurang sebagai berikut:

  Bila di dunia ini   
  telah ku reguk segala bahagia,      
  ku rela terlahir kembali  
  sebagai unggas atau pun serangga.

  Bila  dikatakan yang hidup ini
  akhirnya kan mati jua, 
  kini selagi ku hidup
  kan kuraih segala bahagia. 
 
Melalui untaian syair di atas, pada satu sisi Otomo
Tabito ingin mengungkapkan kesadaran orang Jepang
terhadap lingkaran inkarnasi yang harus mereka lalui,
dan di sisi yang lain secara eksplisit ia bermaksud
mengambarkan bagaimana ajaran agama Budha yang
diyakini oleh orang Jepang diekspresikan ke dalam
paham keduniawian yang mereka anut, dengan
memandang dunia fana ini sebagai tujuan akhir bagi
keyakinan agama Budha Jepang. MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO. 3, DESEMBER 2004: 120-125


123
Menerima dan Mengakui Tabiat Manusia
yang Alami

Seperti halnya ketika orang Jepang berusaha menerima
dan membenarkan makna “apa adanya” dari dunia alam
semesta ini,  maka begitu pula  pandangan mereka
terhadap perasaan dan keinginan alami manusuia
normal. Mereka mengakui perasaan dan keinginan nafsu
manusia normal “apa adanya,” bahkan ada
kecenderungan mereka untuk tidak mengendalikan atau
menahan nafsu tersebut (Nakamura, 1991:58).

Di zaman kuno, orang Jepang banyak menciptakan
lagu-lagu cinta dengan cara pengungkapan terus terang
dan gembira. Kecenderungan seperti ini, hingga
sekarang pun masih sangat mencolok. Begitu juga
ketika Konfusianisme yang asketis (ascetis) tengah
marak-maraknya dianut masyarakat Jepang pada zaman
Edo (abad ke-17—19 M), para Konfusianis Jepang
mengalami kesulitan untuk menginterpretasikan makna
etis dalam gubahan-gubahan puisi mereka, karena bisa
jadi  hasilnya akan paradoks dengan pola ideal yang
mereka dambakan.

Dalam bentuk penerimaan agama Budha pun,
kecenderungan orang Jepang seperti ini sangat kuat.
Sekadar contoh, misalnya penghapusan disiplin/kaidah
agama Budha yang di dalam agama Budha di India
maupun di Cina tidak terjadi.  Aliran agama Budha yang
ketat dalam menjalankan disiplin keagamaan,
tampaknya sulit untuk diterima oleh orang Jepang. Jika
dalam ajaran agama Budha India emosi dan nafsu
keduniawiaan merupakan sesuatu hal yang harus
dihilangkan, namun pandangan semacam ini malah
menjadi sebaliknya di Jepang. Bahkan orang Jepang
dipandang lebih bersimpati kepada pribadi dirinya
sendiri daripada mengindahkan kedisiplinan atau kaidah
agama.

Pendeta Nichiren (1222-1282) dalam pengakuannya
mengungkapkan, bahwa:  “fureshiki ni mo namida,
tsuraki ni mo namida,” yang artinya:  “dalam susah air
mata, dalam senang pun air mata.”  Sedangkan Onkou
(1718-1804), seorang pendeta Budha sekte Shingon,
juga mengungkapkan: dotoku to wa ningen no shizen no
honsei ni shitagau koto da. Artinya, “yang disebut
dengan moral adalah sesuatu yang mengikuti tabiat
alami manusia”. Oleh karena itu, terhadap beberapa
kebiasaan seperti: meminum minuman keras, memakan
daging, melakukan hubungan seksual dan perbuatan-
perbuatan lainnya yang di dalam agama Budha di India
maupun di Cina dilarang, namun di dalam agama Budha
Jepang tidak secara tegas dipermasalahkan.

Dalam agama Budha di India dan Cina, dunia nafsu
dengan dunia agama dibedakan secara tegas.
Sebaliknya, kedua dunia yang berlawanan ini di Jepang
menjadi “sousoku,” yang secara harafiah berarti “sama
dengan.” Dalam pandangan agama Budha Jepang, di
antara dunia nafsu dengan dunia agama sulit untuk
dibedakan “mana yang sebab” dan “mana yang akibat,”
karena kaitan kedua dunia tersebut sangat erat.
Tampaknya merupakan suatu yang dibenarkan oleh
pandangan orang Jepang, bahwa di antara cinta dan
nafsu seksual dengan yang bersifat keagamaan,
bukanlah merupakan suatu paradoks.

Mengutamakan Cinta Kasih (Aijo)
Terhadap Manusia

Ciri lainnya dalam cara berpikir orang Jepang, adalah
menjunjung tinggi sosok atau wajah alami manusia
sebagai representasi dari pengutamaan cinta kasih
(aijo).  Sesuatu yang merupakan kemurnian cinta kasih
terhadap orang lain,  yang dalam agama Budha disebut
jihi (karuna), sangat diutamakan dan karenanya
ditekankan untuk dipahami secara mendalam oleh para
penganut agama Budha Jepang. Bahkan di kalangan
bushi (prajurit/militer), terutama dalam pandangan
bushido (jalan hidup  bushi) hal ini menjadi salah satu
aspek moral yang amat penting.

Di Jepang pada masa lampau, seperti halnya juga di
negara lain, peperangan bukanlah sesuatu yang asing.
Seusai perang, orang yang selamat dari peperangan
biasanya akan mendoakan arwah teman-temannya yang
telah gugur. Akan tetapi di Jepang, sudah menjadi
kebiasaan bagi mereka bahwa pihak yang menang
perang itu bukan saja mendoakan arwah bagi pihak
mereka sendiri, tetapi juga mendoakan arwah  di pihak
lawan yang gugur dalam peperangan tersebut. Sebagai
contoh, ketika berakhirnya perang “genkou”  atau “bun
ei – koan no eki,”  yaitu perang antara Jepang dengan
Cina (Mongol) pada pertengahan zaman Kamakura
(1185-1335), Shogun Hojo Tokimune (1251-1248)
sebagai pemegang tampuk kekuasaan ketika itu,
menyatakan belasungkawa bukan hanya bagi anak buah,
sahabat, dan kerabatnya yang gugur dalam peperang
tersebut, tetapi juga terhadap arwah lawan-lawannya.
Kegiatan yang bersifat keagamaan seperti ini, banyak
ditemukan setelah berakhirnya perang Jepang – Cina. 
Ritual-ritual tersebut berpijak pada ajaran yang paling
khas dalam agama Budha, di mana kawan atau pun
lawan, semuanya akan “terselamatkan” dengan cinta
kasih Budha.

Semangat Toleransi (Kanyou) dan
Memaafkan (Yuwa)    

Dalam interaksi di antara sesama warga masyarakat
sepanjang perjalanan sejarah Jepang, tampaknya
semangat untuk bertoleransi dan saling memaafkan,
merupakan salah satu ciri yang menonjol dalam cara
berpikir  orang Jepang ketimbang semangat untuk saling
menaklukkan. Akan tetapi, bukan berarti sejak dulu MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO. 3, DESEMBER 2004: 120-125


124
tidak pernah terjadi hubungan saling mengalahkan
bahkan saling menaklukkan di antara sesama mereka.

Sesungguhnya, semangat untuk bertoleransi dan saling
memaafkan di sini, lebih dilandasi oleh ketatnya kontrol
sosial dan kuatnya tekanan terhadap individu orang
Jepang di dalam kehidupan bermasyarakat, jika
dibandingkan bangsa-bangsa lainnya. Dengan demikian,
dari segi kesadaran subyektif masing-masing orang
Jepang, jelas sekali yang tampak muncul ke permukaan
adalah semangat toleransi dan saling memaafkan
tersebut.

Orang Jepang tidak membenci  secara serius orang yang
berdosa. Salah satu contoh, tidak ada bentuk hukuman
sadis dalam sistem hukum Jepang. Meskipun ada model
hukuman yang disebut  “haritsuke,”  yaitu suatu bentuk
hukuman mati pada sekitar abad ke-16 dengan cara
memaku seluruh tubuh orang yang dihukum yang
dibaringkan di atas sebilah papan, tetapi itu merupakan
sebuah model hukuman yang ditiru dari Barat  dan baru
dikenal di Jepang  setelah memasuki abad ke-16.
Diperkirakan model hukuman tersebut merupakan
pengaruh dari orang-orang  Kristen yang menyebarkan
ajaran Kristen ke Jepang. Begitu pula dengan model
hukuman lainnya yang disebut “hikei” atau “hiaburi,” 
yaitu hukuman bakar yang dilakukan terhadap orang
Jepang penganut Katholik pada abad ke-16, sehubungan
dengan dilarangnya agama Katholik pada masa itu.

Selain itu, dalam pemikiran orang Jepang, pandangan
tentang “kualat seumur hidup”  atau “berdosa selama-
lamanya,” tidak sempat mendarah-daging dalam pranata
kehidupan mereka. Bagi orang Jepang, tak peduli
apakah seseorang itu orang baik atau orang jahat, jika ia
meninggal dunia (mati), mereka akan terselamatkan
oleh Budha. Oleh karena itu, dalam pemikiran mereka,
bagaimana pun jahatnya seseorang semasa hidupnya,
jika ia telah meninggal maka ia tidak lagi akan terbebani 
tanggung jawab apa pun, karena semua orang yang mati
akan menjadi Budha dan disebut dengan istilah
“hotoke” (dewa Budha). Bahkan dapat saja terjadi
fenomena sebaliknya, yaitu ketika seseorang yang
dianggap jahat semasa hidupnya, namun setelah ia
meninggal menjelma menjadi roh yang istimewa,
kuburannya dianggap keramat dan dikunjungi banyak
peziarah.

Semangat toleransi orang Jepang juga tampak dalam
pertemuan agama  Shinto dan Budha, terutama adanya
perpaduan di antara dewa-dewa Shinto dengan dewa-
dewa Budha. Agama Budha Jepang sudah sejak awal
penyebarannya sangat akrab dengan Shinto, sehingga
membuahkan kesatuan di antara Budha dan Shinto
sebagaimana tercermin dalam konsep “honchisuijaku.” 
Suatu pemikiran yang memandang bahwa “hotoke”
(dewa Budha) adalah pengejawantahan “kami” (dewa
Shinto), dan sebaliknya  kami  adalah pengejawantahan
hotoke.

Ada beberapa alasan yang memungkinkan lahirnya
pemikiran di atas. Pertama, akulturasi ajaran agama
Budha dan Shinto  serta penyatuan para dewa Budha
dengan para dewa Shinto yang bersifat sinkretis itu,
pada dasarnya bersifat fungsional bagi orang Jepang.
Dalam arti, ajaran apa pun dan dewa mana pun akan
diterima dan dipandang baik, sepanjang tidak
mendatangkan gangguan bagi ketertiban sosial
masyarakat mereka. Bahkan ketika orang Jepang
menerima aturan hukum agama dari luar yang bersifat
universal, dalam interpretasi mereka sangatlah menonjol 
kecenderungan untuk menyerasikannya dengan
perkembangan zaman yang berlaku, serta
menyesuaikannya dengan tradisi dan selera masyarakat
mereka sendiri.

Kedua, setelah agama Budha menyebar ke berbagai
pelosok negeri Jepang, terlihat  kecenderungan pada
sebagian besar sekte agama Budha Jepang untuk
memandang bahwa kaidah hukum agama mereka harus
“jikisoou,” yaitu harus sesuai dengan waktu dan
ruangnya. Bahkan kalangan Konfusianist Jepang pada
zaman Edo (abad ke-17 s/d abad ke-19), acap kali
menolak doktrin-doktrin yang mereka anggap tidak
sesuai dengan “nihon no michi” (cara Jepang). 
Kecenderungan cara berpikir orang Jepang seperrti ini,
mengandung  dua resiko. Ketika cara berpikir mereka 
terlalu menekankan  pada kekhasan waktu dan menjauh
dari yang universal, maka pemikiran orang Jepang akan
mudah menjadi suatu  occasionalisme   yang sangat
lentur terhadap waktu dan keadaan tertentu. Sebaliknya,
jika cara berpikir mereka terlalu menekankan pada
kekhususan yang bersifat ruang, maka mereka akan
mudah terjerumus ke dalam pemikiran yang bersifat
sentralisme etnik yang kerdil dan picik.

Penutup

Dalam keseluruhan paparan di atas, saya telah mencoba
mengungkapkan beberapa ciri yang menonjol dalam
cara berpikir orang Jepang yang bersifat naturalistis,
pragmatis, dan realistis. Suatu pola berpikir yang
tumbuh dan berkembang sebagai hasil dari akulturasi
ajaran agama Budha, agama Shinto, dan Konfusianisme,
yang pada gilirannya melahirkan berbagai sekte agama
Budha Jepang yang bersifat sinkretis.  Semua perbedaan
dalam berbagai ajaran agama yang mereka terima,
ternyata tidak menimbulkan paradoks bagi orang
Jepang, bahkan sebaliknya, semuanya serba harmonis
dan serasi, semuanya serba bermakna dan berfungsi
dalam kehidupan orang dan masyarakat Jepang, sesuai
dengan perkembangan zamannya baik dari sisi waktu
maupun dari sisi ruang. 
 MAKARA, SOSIAL HUMANIORA, VOL. 8, NO. 3, DESEMBER 2004: 120-125


125
Bagi masyarakat Jepang modern di abad ke-21 ini,
adanya pola berpikir yang bersifat naturalistis,
pragmatis, dan realistis tersebut di atas—secara
langsung maupun tidak langsung— ikut andil dalam
menampilkan suatu “kontradiksi tetapi serasi” di antara
wajah masyarakat Jepang yang bersifat  shukyoteki
(agamis) di satu sisi, dengan wajah masyarakat Jepang
yang gensezokuteki (modern, sekuler)  di sisi yang lain.  

disadur dari sebuah web lain (lupa linknya, hehe)

1 Komentar

komentar dan kritik sangat diharapkan :D. Terimakasih!