salah satu cerpen kompas yang saya dedikasikan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Sastra UGM.
Tahun demi tahun semakin banyak saja orang Jepang yang bunuh diri di
hutan ini. Aokigahara. Tempat favorit bagi mereka yang ingin bunuh diri.
Yah… aku tidak akan mengeluh, karena bagaimanapun juga, semakin banyak
mereka yang mati berarti pendapatanku semakin bertambah.
Orang Jepang menyebut hutan ini sebagai ”hutan bunuh diri” sehingga
mau tak mau tak jarang orang berpersepsi keliru mengenai orang-orang
yang datang ke hutan ini. Aku datang ke sini bukan sebagai turis entah
untuk menikmati pemandangan gunung Fuji di sebelah barat ataupun suasana
mistis yang hanya dimiliki oleh tempat di mana ratusan bahkan ribuan
nyawa melayang di lokasi yang sama.
Aku datang untuk mencari nafkah. Untuk
bertahan hidup. Seperti yang telah kuamati selama ini, malam-malam pada
perayaan seperti tahun baru inilah yang biasanya digunakan oleh sebagian
orang Jepang untuk mengakhiri nyawanya sendiri. Di tengah tawa dan
pesta penduduknya, ada segelintir orang yang mengasingkan diri dan
merasa bahwa saat itulah… saat terbaik untuk mengucapkan selamat tinggal
pada dunia.
Kupikir aku datang terlalu cepat, tapi ternyata sudah ada klien yang
pergi ke dunia sana. Pria itu tergantung pada sebatang pohon dengan
menggunakan ikat pinggangnya.
Aku memeriksa denyut nadinya dan merasakan
mayatnya masih hangat. Aku menunggu satu dua menit karena tidak ingin
mengganggu perjalanannya ke alam sana. Setelah itu aku merangkapkan
kedua tanganku di depan dada—meniru pengikut-pengikut Buddha yang
biasanya sembahyang di kuil-kuil.
”Lima puluh tahun di bawah langit! Lima puluh tahun di bawah langit!” bisikku berdoa.
”Aku tak minta hidup lama-lama. Cukup berikan aku lima puluh tahun di
bawah langit saja. Maafkan aku. Aku akan membakar dupa untukmu besok.
Aku janji,” doaku khusyuk. Setelah itu aku menurunkannya dan
membaringkan mayat pria itu di tanah. Aku mempunyai kode etik untuk
selalu mencari tahu nama mayat yang sedang kujarah sebelum mengambil
barang-barang peninggalannya. Menurutku adalah suatu hal yang ironis
apabila tidak berusaha mencari tahu nama mereka yang sudah mati, padahal
selama hidup pun mereka juga diabaikan.
Aku mengeluarkan KTP dari dompetnya. Ken’ichi Matsuyama, 32 tahun.
Dua kali lipat dari usiaku. Masih ada delapan belas tahun sisa hidupnya,
tapi ia memilih mengakhirinya malam ini. Aku tidak terlalu berharap
pada uang tunai klien-kilenku karena biasanya kebanyakan alasan mereka
bunuh diri adalah karena kekurangan uang. Namun aku terkejut ketika
menemukan 58.000 yen di dalam dompetnya. Aku buru-buru mengambil
setengahnya dan menyisakan sebagian pada kolegaku yang lain.
Walaupun disebut kolega, sebenarnya kami belum bertemu satu sama
lain. Orang Jepang adalah orang yang memiliki kehormatan yang tinggi
sehingga mereka merasa amat malu apabila ada orang lain yang mengetahui
pekerjaan mereka yang hina ini. Bagi mereka, lebih baik mati daripada
harus hidup menanggung aib karena ada orang lain yang tahu bagaimana
cara mereka bertahan hidup.
Hal itu kupelajari setelah tanpa sengaja bertemu dengan pemulung
lain, seorang bocah berusia 12 tahun yang mungkin disuruh orangtuanya.
Bukannya mengancam layaknya binatang buas agar aku tidak mendekati
bangkai yang sedang dijarahnya, dia malah meninggalkan hasil rampasannya
dan kabur begitu melihatku.
Di kemudian hari, aku mengetahui dari koran bekas bahwa bocah itu
gantung diri tak lama setelah bertemu denganku. Aku berpikir benarkah
bocah seusia itu merasa harus mempertahankan kehormatan keluarganya
ataukah kematiannya itu pun adalah perintah dari ayahnya yang merasa
anaknya sudah membawa aib?
Misteri itu tidak pernah terpecahkan dan aku menyesal harus bertemu
dengan bocah itu. Sejak saat itu aku menajamkan pendengaranku dan
berusaha membuat sedikit suara setiap kali sedang menjarah. Kami
biasanya memberi kesempatan pada yang datang duluan.
Aku mengambil kartu kredit milik Ken’ichi. Tiket kereta api
berlangganan, SIM, dan juga jam tangannya. Suara gemerisik rumput di
belakangku membuatku bereaksi dan menoleh ke belakang.
”Haaanttuuu,” pekikku tertahan.
Biar kujelaskan. Jangan dulu katakan aku ini pengecut, ok?
Aku sudah terlalu terbiasa melakukan pekerjaan ini sehingga tidak ada
perasaan takut dalam diriku untuk bertemu hantu mereka yang bunuh diri.
Sebaliknya, seperti yang kuceritakan tadi, aku justru takut bertemu
manusia-manusia sepertiku yang berusaha bertahan hidup dari peninggalan
mereka yang memilih mati.
Hanya saja gadis itu terlalu cantik untuk seorang manusia. Kecantikan
yang kupikir hanya bisa ditiru siluman atau hantu untuk memperdaya
manusia. Aku sudah menyiapkan mentalku untuk bertemu setan-setan yang
bonyok di wajah dan mengucurkan darah sehingga sama sekali tidak siap
memandang kecantikan surgawi yang terpancar dalam diri gadis itu.
Rambutnya yang panjang menjuntai di samping pelipisnya. Dia pun
memakai kimono putih yang indah bersulam burung-burung bangau yang
terbang ke selatan. Wajahnya tampak dibedaki tipis-tipis dan bibirnya
diberi pewarna merah yang menandakan bahwa ia telah beranjak usia akil
balig.
”Memalukan sekali!” bibirnya yang mengerucut dan senyum sinisnya itu mengembalikan aku pada dunia nyata.
”Hidup dari jerih payah orang-orang yang sudah mati. Kau benar-benar memalukan!” ulang gadis itu memancing reaksiku.
Aku tahu seharusnya aku berbalik dan kabur seperti yang dilakukan
bocah itu dan kembali ke sini esok malam untuk menggantung diri di salah
satu pohon. Hanya saja aku bukan orang Jepang dan tidak mempunyai
mental orang Jepang meskipun aku mengagumi kebudayaan mereka.
”Mereka mati itu pilihan mereka. Aku hidup itu pilihanku sekalipun
dengan cara ini.” Wajahku terbakar rasa malu yang luar biasa ketika
mengatakan hal itu.
Gadis itu mengerutkan kening sedikit. Wajahnya terlalu anggun untuk
mengekspresikan rasa jijik yang ia rasakan pada diriku sehingga hanya
melalui matanya aku tahu ia menatapku dengan hina dan jijik.
Ia tak berkata apa-apa lagi dan hanya melepaskan giwangnya dan
memberikannya padaku. Sebagai penadah barang curian aku tahu giwang
hijau itu terbuat dari mutu yang bagus. Aku terlalu sibuk menaksir
harganya sehingga tidak menyadari situasi yang sedang kualami.
”Untuk apa ini?” tanyaku seperti orang bodoh.
”Aku tidak ingin kau menjamah tubuhku ketika aku sudah mati. Hanya ini yang kupunyai. Ambillah!” jawab gadis itu.
”Kau tidak bawa uang?” tanyaku spontan.
Gadis itu tergeragap mendengar pertanyaanku yang kurang ajar, tidak
manusiawi, dan tidak pada tempatnya. Ia melepaskan kalungnya yang
dibandulnya terdapat sebuah kantung kecil.
”Di dalamnya ada sekeping uang logam zaman dulu. Pemberian dari
kakekku. Kupakai sebagai jimat dan mungkin cukup ampuh untuk mengusir
hantu sepertiku jika kita bertemu lagi.”
Aku berani bersumpah bahwa ia tersenyum kecil sewaktu menyindirku
tadi! Jika hujan tidak segera turun, aku yakin sebentar lagi ubun-ubun
kepalaku akan mengeluarkan asap.
Aku tak tahu harus berkata apa sehingga aku hanya menganggukkan
kepala kepadanya. Dengan raut sedih ia membalas anggukanku dan berbalik
menuju jalan yang dipilihnya.
Dua-tiga langkah kemudian ia berbalik padaku dan berkata dengan
tajam, ”Ingat! Jangan menyentuhku atau aku akan menggentayangimu, ok!?”
gadis itu mengedipkan matanya padaku.
Aku terlalu percaya takhayul bahwa permintaan orang yang akan
meninggal harus dipenuhi dan perintahnya harus dipatuhi sehingga kedipan
itu pun tidak dapat membuat hatiku tenang.
Aku ingin mengatakan padanya bahwa aku bukan seorang nekrofil (aku
memang tidak terdidik, tapi aku tahu arti kata itu) dan tidak memiliki
minat pada mayat yang secantik apa pun—meskipun aku sedikit berharap dia
berbuat sedikit kebaikan di akhir hidupnya dengan memberiku kecupan
selamat tinggal.
Terakhir kali aku melihatnya, dia sedang berusaha mengaitkan ikat
pinggang kimononya pada sebuah cabang pohon. Membentuk sebuah simpul.
Aku melayangkan pandanganku dengan sedih dan berbalik berjalan di jalan
kehidupan yang sulit.
”Kosong adalah isi. Isi adalah kosong,” aku berjalan terhuyung-huyung
seperti orang mabuk berusaha tampak bijak dan arif seperti
pendeta-pendeta tao zaman dulu.
”Pertemuan adalah perpisahan. Akhirku adalah permulaanku,” ceracauku
tak jelas. Sedetik setelah itu, aku dikejutkan sedemikian rupa oleh
gadis itu yang tiba-tiba muncul di depanku sehingga aku terlompat mundur
beberapa langkah ke belakang.
”Bagaimana bisa? Tadi kau di belakangku!” kataku padanya.
Gadis itu tersenyum. Senyum yang manis dan menghanyutkanku.
”Aku mengenal hutan ini lebih baik darimu.”
”Ta-tapi…,” aku hendak protes sewaktu gadis itu merapatkan bibirnya
pada bibirku. Rasanya basah, dingin dan hmm… tak bisa kujelaskan.
Lidahku kelu sehingga tak dapat menanyakan untuk apa ciuman itu.
”Mengapa kau tidak berusaha menyelamatkanku?” tanyanya merajuk padaku.
”Aku, aku tidak tahu kau ingin diselamatkan. Kupikir kau memang sudah berbulat hati memilih jalan itu.”
”Kauu jahattt!” ia memukulkan tangannya yang kecil pada dadaku dan merebahkan kepalanya pada pundakku.
Aku membelai rambutnya yang halus. ”Kau tidak jadi mati?” tanyaku, lagi-lagi salah ucap. Kugigit lidahku.
”Kau ingin aku mati?” dia tiba-tiba menarik kepalanya dan menatapku dengan serius.
”Bu, bukan begitu! Maksudku, aku bingung apa yang membuatmu mengubah keputusanmu?”
Air matanya bergulir sewaktu dia menjawab pertanyaanku.
”Tidak ada yang peduli padaku,” katanya. ”Seumur hidupku tidak ada
yang peduli padaku. Aku ingin ada seorang saja yang peduli padaku jika
aku berusaha bunuh diri.”
Sorot matanya tampak seperti anak kucing yang tercebur di sungai dan
minta pertolongan. Tanpa sadar aku telah mengulurkan tangan untuk
merengkuhnya dan mendekapnya dalam pelukanku.
”A-aku peduliii…,” kataku dengan gugup dan malu.
”Benarkah?” matanya menatap lekat padaku, seolah sedang mencari jejak-jejak kebohongan.
”Ya,” jawabku pendek untuk mengukuhkan suatu komitmen.
Gadis itu tersenyum dan membenamkan wajahnya di bahuku. Tangannya
mencari tanganku dan menggenggamnya. Kemudian tiba-tiba dia membuka
telapak tanganku dan mengambil giwang dan kalung miliknya.
”Kau sudah memiliki aku, jadi tak membutuhkan ini!” katanya seraya
melemparkan benda-benda miliknya itu ke kedalaman hutan. Apakah dia
sedang berusaha menghapus masa lalunya? Entahlah.
Malam itu kami berjalan bergandengan tangan dan aku merasa jalan
pulang yang kulalui telah berubah dan membentuk sebuah cabang baru.
Sebuah perasaan aneh dalam diriku membuatku berbalik dan menatap hutan
Aokigahara—yang entah kenapa kurasakan untuk yang terakhir kalinya.
Hutan yang telah menelan banyak korban. Bahkan orang-orang asing dari
benua Eropa pun tertarik dengan keeksotisan hutan ini dan memilih
mengakhiri hidupnya di sini.
Mungkinkah hutan ini sudah insaf dan ingin bertobat? Ataukah kisahku
hanya salah satu dari sedikit cerita yang belum dikonsumsi umum bahwa di
samping meminta banyak kematian, hutan ini juga mampu memberikan
kehidupan?
Entahlah. Aku tidak tahu dan aku tidak yakin dengan tapak langkahku
di jalan baru ini. Aku tidak yakin hutan ini dapat menghidupi kami
berdua. Atau bertiga.
Aku harus mencari pekerjaan lain.
mau cari cerpen kompas lain? klik disini.
4 Komentar
didedikasikan? dijadiin telaah dalam skripsi maksudnya, gitu? Aku juga udah baca ini cerpen. Bagus juga!
BalasHapusbisa juga dikatakan demikian :D, tapi pada kesempatan itu saya gunakan hanya untuk telaah struktur cerpen saja
BalasHapusada cerita lain gak?
BalasHapuswah, ditunggu aja yang terbaru bakal datang ^^
BalasHapuskomentar dan kritik sangat diharapkan :D. Terimakasih!